Natuna, leadernusantara.com- Hari ini Bangsa Indonesia memperingati peristiwa kehebatan generasi muda yang dikenal dengan peristiwa Sumpah Pemuda ke-93 (Sembilan puluh tiga). Dulu, setiap peringatan hari Sumpah Pemuda (dekade tahun 60-an s.d. tahun 90-an), berbagai kemeriahan diselenggarakan oleh elemen masyarakat. Baik oleh institusi pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, perkumpulan pemuda, pelajar, dan sebagainya.
Kegiatannya pun bervariasi, mulai dari upacara bendera, pertunjukan/permaian rakyat, seminar, dialog, renungan, pelontaran opini di berbagai media massa, pemasangan baleho, pamflet dan lain-lain. Hal ini merupakan gambaran yang menggembirakan, karena telah memberikan tanda-tanda bahwa masyarakat Indonesia ketika itu masih mempunyai kesadaran sejarah yang baik.
Lebih dari itu, selalu kita saksikan adanya penyegaran komintmen untuk tetap mempertahankan ikrar pemuda dalam kehidupan bangsa dan bernegara. Artinya, persatuan, komitment dan keseragaman derap langkah kaum muda dalam mengisi kemerdekaan ketika itu masih tetap menjadi kebutuhan bersama. Sehingga setiap kali peringatan hari Sumpah Pemuda, merupakan momentum yang membahagiakan dan ditunggu-tunggu (khususnya oleh pemuda dan pelajar).
Namun di balik semua itu, ada hal yang jarang dilakukan dalam kegiatan peringatan hari lahirnya Sumpah Pemuda, yakni pemahaman kritis terhadap peristiwa monumental gerakan sosial tersebut. Selama ini kegiatan peringatan hari lahirnya Sumpah Pemuda, lebih banyak bersifat seremonial dan publikasi, dari pada kegiatan yang dapat memberikan pembelajaran, pencerahan atau penghayatan total yang dapat membentuk karakter generasi muda.
Akibatnya, sejarah gerakan sosial itu semakin hari semakin terlupakan bahkan hampir-hampir tidak dimaknai lagi dalam kehidipan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak salah kalau dikatakan rasa kebersamaan kaum muda saat ini semakin mengkhawatirkan, terkadang nasionalisme pun sudah dibayang-banyangi kepentingan tertentu. Maka tidak heran kalau ada sekelompok pemuda ‘bayaran’ dalam berbagai kepentingan.
PENGHAYATAN KRITIS MENUJU INDONESIA BARU
Kegiatan pembelajaran atau literasi diharapkan dapat memberikan pencerahan(aufklarunk), sehingga akan berdampak pada kemampuan melakukan penghayatan total, agar masyarakat mampu memaknai Sumpah Pemuda secara kritis. Bukan sekedar mengucapkan kalimat ikrar Sumpah Pemuda atau sekedar mengucapkan selamat hari lahirnya Sumpah Pemuda, bagi-bagi masker, bagi-bagi sembako, kunjungan sana-sini, dan lain-lain.
Apabila direnungkan dan dihayati secara kritis maka akan nampak bahwa peristiwa Sumpah Pemuda tidak sekedar peristiwa sejarah yang sejajar dengan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya dalam perjuangan Bangsa Indonesia. Diharapkan pada waktunya akan dapat mempengaruhi sikap masyarakat dalam memberikan nilai lebih (plus value) pada substansi nilai-nilai edukasi dari peristiwa tersebut.
Tanpa pemahaman substansi Sumpah Pemuda secara kritis, rasanya akan sulit bagi masyarakat untuk memaknai lahirnya sebuah bangsa baru yang bernama Indonesia. Padahal sebelum ikrar pemuda tahun 1928 itu, masyarakat Hindia Belanda tidak mengenal nama Indonesia. Sebutan Indonesia dianggap sekedar pemberian dari R.Logan (ahli antropologi Eropa), untuk menyebut sebuah kepulauan di kawasan Asia Tenggara pada awal abad XX lalu.
Dengan melekatnya kata Indonesia pada tiga kalimat dalam ikrar Sumpah Pemuda ketika itu, terbukti membawa dampak tidak sekedar menunjukkan tempat atau sifat sebuah gugusan kepulauan, namun juga merupakan kristalisasi penemuan konsep baru. Mengapa tidak? Karena Ini merupakan karya maha agung yang dilakukan oleh masyarakat multikultural yang sangat heterogen.
Dapat dibayangkan dalam keberagaman agama, suku, tradisi, budaya, bahasa, kesenian dan lain-lain (pada tanggal 28 Oktober 1928 itu), masyarakat seakan-akan terhipnotis di Jalan Kramat Raya Nomor 6 Jakarta. Semuanya bersepakat melebur diri dengan konsep kata Indonesia (Kami Putra dan Putri INDONESIA, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah INDONESIA. Kami Putra dan Putri INDONESIA, mengaku berbangsa yang satu, bangsa INDONESIA, Kami Putra dan Putri INDONESIA, menjunjung bahasa persatuan, bahasa INDONESIA).
Sebelum peristiwa Sumpah Pemuda, di negeri kita ini terdapat banyak bangsa yang masing-masing mempertahankan eksistensinya, bahkan realita menunjukkan betapa banyak negara dalam bentuk kerajaan. Terbukti ikrar pemuda tersebut berhasil meneguhkan kesepakatan besar yaitu; hanya ada satu tanah air, bangsa dan bahasa dalam bingkai kata ‘Indonesia’.
Tidak dipungkiri dalam interval waktu antara tahun 1928 sampai 1945 masih banyak terdapat kerajaan di negeri Nusantara ini, namun minimal sudah muncul rasa kebersamaan. Terbukti ketika itu tidak ada satupun kerajaan di Nusantara ini yang menentang Sumpah Pemuda atau mengaku anti dengan nama Indonesia.
Oleh karena itu, jika konsisten dengan alur pikir di atas, setiap kali membicarakan sejarah Indonesia, tentunya kita faham bahwa titik tolaknya tidak terlepas dari peristiwa Sumpah Pemuda. Dimana sebelumnya hanya dikenal dengan nama; Nusantara, Hindia Belanda, bahkan lebih sempit lagi disebut Tanah Jawa atau Jawa Dwipa.
Dalam hal ini tentunya tidak dilupakan bahwa peristiwa Sumpah Pemuda merupakan kelanjutan dari perjuangan masa-masa sebelumnya (sebelum tahun 1928). Termasuk dampak tumbuhnya rasa nasionalisme di kalangan pelajar tahun 1908 (Peristiwa Kebangkitan Nasional/Bung Tomo). Namun wujud dari ‘ke-Indonesia-an’ yang sesungguhnya barulah terjadi pada tahun 1928.
Nilai lain yang terkandung dalam peristiwa Sumpah Pemuda yakni kenyataan bahwa yang mempelopori peristiwa tersebut tidak lain adalah kaum muda Indonesia sendiri. Generasi tua saat itu, sebagian besar larut dalam kepasrahan status quo yang diciptakan penjajah. Kaum muda-lah yang terus bergerak membangkitkan semangat yang memudar.
Pemuda saat itu sanggup menerima berbagai resiko dalam merealisasikan cita-citanya. Mereka mampu dan berani menyatakan sesuatu yang baru atau sesuatu yang belum ada saat itu, bahkan terhadap hal-hal yang sangat sensitif bagi para penjajah. Sampai-sampai banyak kaum tua yang tidak yakin akan keberhasilan cita-cita kaum muda saat itu. (Ridwan Saidi dan Prof. DR. Anhar Gonggong, Dalam dialog interaktif TV One, 2020).
RUANG GERAK GENERASI MUDA
Pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa itu adalah kepeloporan, kemajuan, semangat serta penciptaan moment-moment historis. Kaum muda-lah yang masih memiliki daya, energi, vitalitas kebebasan dan idealisme. Telah terbukti inisiatif, kreaktivitas dan sesuatu yang sulit diharapkan dari kaum tua saat itu, lahir dari tangan-tangan kaum muda.
Roh dan semangat gerakan tersebut akan terpelihara sepanjang masa tanpa pengecualian, asalkan kaum muda diberi kesempatan yang lebih luas, untuk mengekspesikan potensinya secara positif, untuk menciptakan sesuatu yang bernilai guna bagi masyarakat, bangsa dan negara ini.
Sesungguhnya sebuah kerugian besar bagi suatu bangsa yang menyia-nyaiakan potensi kaum muda atau menutup ruang gerak dan kesempatan baginya dalam berkarya. Hal itu sama saja dengan membuang potensi kekuatan dinamis dan vitalitas besar yang dimiliki bangsa ini.
Jika kita benar-benar menghayati, menghormati, melaksanakan dan ingin mempertahankan nilai-nilai dasar Sumpah Pemuda, maka harus diberikan ruang gerak, kesempatan dan peranan yang seluas-luasnya kepada kaum muda dalam proses pembangunan bangsa ini.
Tentunya kita masih mendambahan peran kepeloporan kaum muda, miminal setera dengan gerakan pemuda tahun 1928 silam. Jangan pernah dibiarkan kaum muda terjerembab dalam kubangan kehidupan hidonisme, hura-hura, hidup dalam bayang-bayang pesimistis, apalagi sampai terjebak dalam kenakalan dan kriminalitas dan lain-lain.
Dalam kontek uraian di atas, ada baiknya kita singgung sejumlah keprihatinan yang menyangkut kehidupan kaum muda. Apalagi mengingat begitu terasa adanya situasi kebekuan dari kaum muda akhir-akhir ini. Begitu lama tidak kita saksikan ketokohan dan kepeloporan kaum muda, baik melalui gagasan cemerlang maupun karya intelektualnya.
Kaum muda di era milenial ini seakan-akan tenggelam atau larut dalam publisitas yang kurang berkelas. Melalui media-media sosial, terkadang mereka menghabiskan waktunya untuk berekspresi dengan arah yang tidak jelas bahkan sia-sia. Tidak heran bila ketokohan, kepeloporan, solidaritas, empati, dan lain-lain dari kalangan muda semakin hari semakin menipis. Sehingga di era milenial ini terasa sulit ditemukan kaum muda yang menjadi penutan.
Selain itu nampaknya ada nilai-nilai ke-Indonesiaan yang semakin pudar bahkan bertolak belakang dengan gagasan Sumpah Pemuda. Jika angkatan muda tahun 1928 berhasil menghimpun organisasi yang berwatak etnosentris, berwawasan sempit, bahkan diwarnai nilai-nilai feodalisme, mengapa di era milenial ini angkatan mudanya vakum entah kemana?
Gerakan dan kepeloporan yang didambahan saat ini, tidak cukup sebatas demonstrasi sektoral (maaf: apalagi menjadi demontran bayaran). Namun lebih dari itu, ada kerinduan terhadap sikap mental yang peka dan empati terhadap berbagai kezoliman dan penderitaan masyarakat. Seperti transparansi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, peran pertahanan dan keamanan, kurikulum pendidikan, hutang luar negeri, ketentraman dan ketertiban, penagakan hukum dan keadilan dan sebagainya.
Maka dari itu, teruslah berkarya, selenggarakan berbagai kajian ilmiah, seminar, simposium dan sejenisnya, yang dapat memberikan pressure kepada para pemangku kepentingan dan kebijakan negeri ini, di berbagai jenjang.
Keprihatinan yang lain adalah begitu dominannya sifat-sifat zolim yang merugikan kaum muda. Sehingga kompetensi yang terjadi di kalangan muda, bukan lagi atas dasar kemampuan, prestasi yang teruji, profesionalitas dan intelektualitas, melainkan loyalitas semu dan subjektivitas. Akibatnya kaum muda enggan untuk mengoptimalkan tenaga, pikiran dan perannya kepada bangsa ini.
Jika demikian keadaan yang terjadi, lalu harapan apa yang tersisa dari kaum muda Indonesia saat ini? Tidak heran, banyak kaum muda yang bersungut wajah menyesali diri dan prustasi. Keadaan ini harus segera direvitalisasi, karena bukan kondisi ideal yang diharapkan dalam perspektif apapun. Apalagi bila dilihat dari makna persatuan dan kesatuan yang terukir dalam kalimat ikrar Sumpah Pemuda.
Idealnya penghayatan total terhadap Sumpah Pemuda secara kritis mampu menjadi guide line dalam menata diri menuju nasionalisme sejati. Sehingga dengan mudah dapat diwujudkan solidaritas, kerja sama, sifat kerelaan berkorban, empati, simpati, kebersamaan, tenggangrasa, jiwa gotong-royong, dan sebagainya.
Untuk itu, tentulah dibutuhkan jiwa besar dan kelapangan dada untuk menjadi pelopor dan memberikan kesempatan yang lebih luas kepada kaum muda untuk mengekspresikan diri sesuai bakat, minat, potensi dan kemampuannya secara positif. Jangan pernah menutup ruang gerak dan kesempatan kaum muda, hanya karena mereka bukan anak pejabat, bukan alumnus kampus ternama, bukan anak pemilik modal dan lain-lain.
Mari kita tumbuhkan kembali kesadaran terhadap masa depan bangsa yang harus lebih baik dari hari ini dan dari masa-masa sebelumnya. Sejarah masa lalu patutlah dijadikan guru terbaik untuk menggapai hari esok yang penuh harapan. Sehingga era milenial yang sarat akan kemajuan teknologi ini dapat diimbangi dengan kesiapan mental generasi muda penerus pembangunan bangsa.
*(Asmara Juana Suhardi,ST.,S.IP.,M.Si, adalah Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor (S-3) Sosiologi UMM.
Discussion about this post