Oleh: Syahidin, S.Pd.I., M.A.
Mahasiswa Prodi Doktor Pendidikan Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Malang
Natuna, leadernusantara.com- Keberadaan Muhammadiyah bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia apalagi di dunia Pendidikan, karena Sejak organisasi ini didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada 1912, Muhammadiyah ikut berkiprah dalam pendidikan bangsa yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, religiusitas, serta kemerdekaan.
Jika berbicara Muhammadiyah tentunya tidak terlepas dari Taman Siswa dan ormas lainnya yang telah berhasil mengajar dan mendidik generasi awal yang memiliki karakter dan dipersiapkan untuk menjadi pejuang bangsa yang tangguh. Muhammadiyah selain bergerak dibidang keagamaan, Pendidikan dan juga bergerak di bidang ekonomi, sosial serta kesehatan, yang disebut Kuntowijoyo sebagai “rasionalisasi” masyarakat tradisional untuk menuju masyarakat modern sampai pada saat ini.
Sebagai sebuah organisasi masyarakat berkeinginan untuk memajukan bangsa, tentunya memiliki perjuangan yang beliku, memang harus diakui, Muhammadiyah tidak akan tumbuh dan berkembang besar tanpa sosok K.H. Ahmad Dahlan. Karena Beliau mampu memecahkan permasalahn yang rumit untuk mendirikan lembaga pendidikan di masa penjajahan Belanda yang saat itu sangat dibutuhkan oleh rakyat sebagai implementasi sebuah perjuangan. Pendidikan pada saat itu hanya ada HIS, MULO serta sekolah guru dengan system Pendidikan Barat yang tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat Nusantara kala itu, pedidikan keagamaan pada waktu itu juga sudah ada dengan model pesantren tradisional namun tidak bisa berkembang dengan pesat karena adanya tekanan dari pihak kolonial Belanda. Tidak semua penduduk pribumi yang dapat bersekolah. Hanya anak golongan priyayi dan kaum ningrat yang bisa bersekolah di situ. Kiai Ahmad Dahlan menyadari untuk melakukan transformasi sosial, membebaskan rakyat dari penjajahan, menyadarkan rasa keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan, hanya bisa melalui pendidikan. Dari pemikiran itu maka muncul keinginan bersar untuk membentuk dan mendirikan sekolah-sekolah rakyat yang dapat diikuti oleh semua penduduk pribumi.
Ahmad Jainuri menyatakan bahwa berdirinya lembaga pendidikan Muhammadiyah ini mempunyai dua sasaran utama. Pertama, untuk memberantas buta huruf, ditujukan kepada masyarakat luas, sejalan dengan usaha ini adalah dikembangkannya kursus untuk mengkaji Islam dan berbagai materi yang saling berkaitan, termasuk kemampuan berorganisasi. Semua kegiatan ini menumbuhkan semangat membaca dan akhirnya berimplikasi pada munculnya berbagai publikasi seperti koran, majalah dan buku-buku yang menjamur pada tahun 1920 dan 1930-an. Kedua, mendirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Untuk mewujudkannya Ahmad Dahlan mengambil langkah awal dengan mendirikan sekolah (madrasah) yang terletak di rumahnya sendiri untuk memberikan pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak tetangganya yang tidak mampu atau tidak punya akses pada sekolah-sekolah pemerintah.
Setelah melihat kebutuhan akan Pendidikan dikala itu, Ahmad Dahlan mendirikan lembaga pendidikan yang mengkolaborasikan dari dua sitem yaitu mengadaptasi sistem pendidikan Belanda (Barat) dan mengintegrasikan dengan pendidikan model pesantren. Dalam pengembangan institusi pendidikan, Muhammadiyah menganut sistem pengajaran yang berpolakan sistem sekolah negeri. Sistem pendidikan ini bukan untuk menciptakan sistem pendidikan Islam tersendiri, melainkan untuk mengorganisasi sistem pendidikan swasta yang sejajar dengan sistem nasional (Arifin, 1996).
Seiringan dengan perkembangan, Lembaga Pendidikan dibawah naungan Muhamadiyah berkembang dengan pesat. Mulai dari Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)/Taman Kanak-kanak, Taman Pendidikan Alquran, Sekolah Dasar, Madrasah Diniyah/Ibtidaiyah, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP dan MTs), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SMA, MA, SMK), Sekolah Kejuruan, Mualimin/Mualimat, Sekolah Menengah Farmasi, serta Pondok Pesantren. Selain itu, di bidang pendidikan tinggi seperti Universitas, Sekolah tinggi, Akademi dan Politeknik
Keberhasilan manajemen pendidikan Muhammadiyah waktu itu, tak lepas dari figur kepemimpinan Kiai Dahlan. Hal ini sejalan dengan pendapat Judy Reinhartz dalam Education Leadership (2004). Menurut Reinhartz, hanya pemimpin pendidikan transformasional yang mampu mengantarkan keberhasilan manajemen sebuah institusi pendidikan. Tipe kepemimpinan pendidikan tersebut menurut Reinhartz disebut tipe transformasional. Pemimpin transformasional menurut Conger (1989), Bennis dan Nunus (1985), merupakan pemimpin yang mampu mengantarkan anak buahnya menuju suatu kesadaran diri yang tinggi dan dinamis.
Walaupun ciri yang disebutkan tersebut tidak secara keseluruhan dimiliki oleh Kiai Dahlan, namun penerapan kepemimpinan yang dimaksud sedah tertera dalam benak dan cara pelaksanaan yang diterapkan oleh Kiai Dahlan sehingga ciri khas kepemimpinan transformasional tersebut juga melekat pada dirinya. Hal ini dapat dilihat dari pribadi beliau, yaitu; pertama, Kiai Dahlan memiliki cita-cita dan visi pendidikan yang jauh ke depan. Baginya institusi pendidikan harus mampu melahirkan manusia baru sebagai ulama-intelek maupun sebaliknya yaitu intelek-ulama, yaitu muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, serta kuat jasmani dan rohani. Sehingga keberadaan ilmu yang dimiliki tersebut dapat membangun bangsa dan negara.
Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, beliau melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum diajarkan bersama-sama. Kiai Dahlan telah melaksanakan “lompatan sejarah” tentang konsep integralistik dalam pendidikan yang kini baru dicita-citakan orang.
Kedua, Kyai Dahlan melakukan stimulasi intelektual. Contoh klasik ketika beliau menjelaskan surat Al Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang. Sampai akhirnya santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya.
Muhammadiyah (1994:48), objek terpenting Muhammadiyah menurut Kiai Ahmad Dahlan adalah rakyat kecil, hartawan, dan intelektual. Jika dilihat dari pengalaman Kiai Ahmad Dahlan, lembaga pendidikan Muhammadiyah semestinya perlu dikelola secara profesional dengan manajemen yang profesional pula agar Pendidikan akan terus eksis dan up to date sesuai dengan kebutuhan zaman. Selain itu Pendidikan yang berada di bawah naungan Muhammadiyah dapat di nikmati oleh semua kalangan, Sehingga orang miskin dan kaum tertindas bisa menikmatinya.
Menurut Suyanto (2007), banyak kader Muhammadiyah menjadi miliarder, birokrat, pengusaha sukses dan politisi. sehingga aset ini dapat dimanfaatkan oleh Muhammadiyah untuk terus mengembangkan dunia Pendidikan.**
Discussion about this post