Kota Baru (leadernusantara.com) – Terkait beredarnya video berdurasi 56 detik, tragis jenazah M Yusuf, wartawan Kemajuan Rakyat dan Berantas News, tewas di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kotabaru pada Minggu 10 Juni lalu.
Ketua Umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia Hence Mandagi mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera bertindak untuk membentuk Tim Pencari Fakta agar melibatkan organisasi pers supaya demokrasi transparansi berjalan dengan baik.
Videonya yang beredar ditengah masyarakat luas tersebut, terlihat jelas kondisi jenazah almarhum M Yusuf terdapat lebam-lebam memerah di bagian leher dan tangan korban, sehingga mengundang reaksi dari berbagai kalangan pekerja PERS dan masyarakat di berbagai Daerah di Indonesia.
Komnas HAM diminta segera meminta polisi agar melakukan autopsi terhadap jenazah korban, untuk mengungkap fakta penyebab kematian M Yusuf, yang ditahan di Lapas kelas II B Kota Baru, karena Almarhum memberitakan salah seorang kolomrat pengusaha kelapa sawit di Daerah itu.
Untuk pengusutan kasus ini, Komnas HAM perlu melibatkan unsur organisasi pers untuk lebih transparansparanai dalam mengungkap fakta sesuai keadaan yang sebenarnya, karena Penuh tandatanya atas tewasnya M Yusuf di Lapas Kelas II B Kota Baru beberapa waktu lalu.
Karena Dewan Pers dan polisi diduga ” Berkolaborasi mengkriminalisasi pekerja PERS dengan cara menjerat almarhum M Yusuf dengan undang-undang ITE, bukan undang-undang PERS No 40 Tahun 1999″.
Atas kejadian yang menimpa almarhum M Yusuf tersebut, seluruh pekerja PERs Mengutuk dan meminta aparat yang berwenang untuk mengusut “Oknum penegak hukum berbau mavia”. Jika tidak, maka banyak lagi pekerja PERS akan dijadikan korban.
Maka dari itu, Hence Mandagi meminta Komnas HAM harus memeriksa Dewan Pers dan saksi ahlinya yang kerap mengkriminalisasi pers, termasuk kasusnya almarhum M Yusuf, karena keterangan saksi ahli sesungguhnya belum lengkap jika tidak disertai hasil sidang Majelis Kode Etik di organisasi pers, sebutnya.
Ditambahkannya, pada kenyataannya, M Yusuf belum disidang oleh Majelis Kode Etik, sehingga belum bisa dibuktikan bersalah atau tidak, jelasnya.
Kejanggalan lainnya dalam kasus M Yusuf ini, patut diselidiki Komnas HAM adalah kedatangan tiga orang penyidik Polres Kota Baru ke kantor Dewan Pers di Jakarta, hanya untuk mengurus kasus sepeleh. Seharusnya polisi hanya mengirim surat ke Dewan Pers dan menunggu surat jawaban mengenai saksi ahli maupun sikap Dewan Pers.
Kami mempertanyakan apa urgensinya sehingga dalam pengusutan kasus ini sampai tiga orang penyidik harus diterbangkan ke Jakarta. Ini menimbulkan tanda tanya besar.
DPP SPRI juga mendukung sepenuhnya upaya hukum dari pihak keluarga korban yang akan menggugat Polres Kotabaru dan Kejaksaan Negeri Kotabaru.
Untuk mengungkap kasus ini Komnas HAM harus mememperhatikan pengakuan istri almarhum Yusuf, T Arvaidah bahwa ada dugaan kematian suaminya tidak wajar karena saat visum dilakukan dirinya dilarang masuk oleh petugas medis.
Untuk menyikapi maraknya kriminalisasi terhadap pers yang berujung kematian seperti M Yusuf, DPP SPRI mengajak seluruh insan pers dari berbagai penjuru tanah air, untuk bersatu menggelar aksi solidaritas secara serentak di masing-masing daerah sebagai ungkapan duka cita atas kematian almarhum M Yusuf, sebut Hence lirih dan berang.
Bahkan Hence Mandagi menyatakan sikap dalam waktu dekat akan melakukan aksi solidaritas besama bersama seluruh rekan-rekan pekerja PERS sesudah lebaran.
Sumber ketua umum DPP Serikat Pers Republik Indonesia Hence Mandagi. (sdr)
Discussion about this post