Padang Pariaman, Leadernusantara.com – Dalam dua bulan terakhir, Kabupaten Padang Pariaman diguncang maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sebanyak 13 kasus telah dilaporkan di 11 kecamatan, angka yang mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan. Jumlah ini belum mencakup kasus yang ditangani Polres Pariaman, menandakan potensi jumlah kasus sebenarnya bisa lebih tinggi.
Bupati Padang Pariaman, John Kenedy Azis (JKA), menyampaikan keprihatinannya terhadap situasi ini. Yang lebih memilukan, korban dari kejahatan ini adalah anak-anak berusia sekitar 10 tahun, sementara pelaku justru berasal dari lingkungan terdekat mereka—bahkan ada di antaranya yang sudah berusia 60 tahun. Fakta ini menjadi peringatan keras bagi masyarakat untuk lebih waspada dan melindungi anak-anak mereka dari ancaman yang sering kali tidak terlihat.
“Ini bukan hanya angka di atas kertas, ini adalah anak-anak kita, generasi penerus bangsa yang sedang menghadapi ancaman nyata di sekitar mereka. Kita semua bertanggung jawab untuk melindungi mereka,” ujar JKA dengan nada penuh keprihatinan.
Ancaman Nyata dari Orang-Orang Terdekat
Fenomena ini mencerminkan kenyataan pahit: dalam banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak, pelaku bukanlah orang asing, melainkan individu yang dikenal korban—anggota keluarga, tetangga, atau orang-orang yang dipercaya. Kepercayaan yang disalahgunakan inilah yang membuat banyak kasus sulit terungkap karena korban merasa takut atau bingung untuk melaporkan kejadian yang mereka alami.
“Kekerasan ini bukan hanya tindakan keji, tetapi juga menghancurkan mental dan psikologis anak-anak kita. Luka yang ditimbulkan dirasakan seumur hidupnya,” tambah JKA.
Menurutnya, anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual sering mengalami trauma mendalam yang dapat berdampak pada tumbuh kembang mereka. Tak hanya mengalami luka fisik, tetapi juga luka emosional yang berpotensi menghancurkan masa depan mereka.
Peran Penting Orang Tua dan Masyarakat dalam Pencegahan
Bupati menegaskan bahwa perlindungan terhadap anak bukan hanya tugas pemerintah atau aparat penegak hukum, tetapi juga tanggung jawab bersama. Orang tua, guru, tokoh masyarakat, ninik mamak, alim ulama, serta berbagai organisasi harus bersatu dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.
JKA menyoroti beberapa faktor yang meningkatkan risiko anak menjadi korban, salah satunya adalah penggunaan gadget dan media sosial tanpa pengawasan.
“Anak-anak kita semakin akrab dengan dunia digital, tapi sayangnya, ini juga membuka peluang bagi predator untuk mendekati mereka. Jika tidak diawasi, dampaknya bisa sangat merugikan,” tegasnya.
Bupati menyarankan beberapa langkah pencegahan yang bisa dilakukan, antara lain:
✅ Meningkatkan pengawasan orang tua terhadap anak-anaknya, baik dalam aktivitas sehari-hari maupun penggunaan internet.
✅ Memperkuat pendidikan agama di rumah dan sekolah agar anak-anak memiliki nilai moral yang kuat.
✅ Membatasi penggunaan gawai bagi anak-anak dan mengarahkan mereka pada kegiatan positif seperti olahraga atau permainan tradisional.
✅ Membatasi jam keluar malam, terutama bagi anak-anak yang masih di bawah umur.
✅ Menghidupkan kembali budaya gotong royong, di mana masyarakat saling menjaga dan mengawasi anak-anak di lingkungan mereka.
Selain itu, orang tua juga diimbau untuk lebih memperhatikan cara berpakaian anak, agar tetap sopan dan tidak menarik perhatian pelaku kejahatan.
Menghidupkan Kembali Budaya Positif untuk Melindungi Anak
Sebagai bagian dari upaya pencegahan, JKA mengajak masyarakat untuk kembali menghidupkan budaya yang telah lama menjadi benteng moral bagi generasi muda.
“Mari kita kembalikan tradisi magrib mengaji, didikan subuh, serta kegiatan keagamaan di masjid atau mushola. Selain membentuk karakter anak, ini juga membantu mereka terhindar dari pengaruh negatif,” ungkapnya.
Ia juga menekankan pentingnya komunikasi yang baik antara orang tua dan anak. (Jef)
Discussion about this post