Tanjungpinang, 21 Februari 202
Oleh: Drs. H. Abdul Kadir Ibrahim,MT
Kepri, ledernusantara.com-Disampaikan pada Talkshow secara daring “Taklimat Seri #1 dengan Tajuk: BM Syamsuddin: Si Bianglala di Langit Natuna, oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Natuna, Senin, 21 Februari 2022, pukul 9.30 s.d. 11.30.
# Sastrawan Indonesia dari Tanjung Balau, Kelarik Ulu, Bunguran Utara, Natuna dan bermastautin di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau.
Cerpenis Riau, yang juga pernah menjadi Pemimpin Redaksi Pekanbaru Pos, Mantan Ketua PWI Riau, Sutrianto Az-Zumat Djarot pada pengantar “Jejak Langkah 100 Tahun Cerpen Riau” dalam 100 Tahun Cerpen Riau (2014), menegaskan mengenai keberadaan kepengarangan BM Syamsuddin di Pentas Kepengarangan Indonesia. Adalah pada era 1990-an muncul cerpenis baru—yang dari sisi usia sebenarnya sudah cukup sepuh—yaitu BM Syamsuddin. Pengarang cerpen ini memulai karir kepenulisannya justru melalui novel. Kehadiran BM Syamsuddin sungguh menghentak karena sekonyong-konyong cerpennya mampu menembus surat kabar harian Kompas (saat itu hanya empat orang cerpenis Riau yang bisa menembus koran nasional ini, yaitu Taufik Ikram Jamil, Fahrunnas MA Jabar, Sutardji Calzoum Bachri dan Hasan Junus). Cerpen-cerpen BM Syamsuddin kemudian tak terbendung lagi dan “mengobrak-abrik” halaman budaya korang-koran nasional seperti Kompas, Suara Pembaruan, Suara Karya, Pelita, Berita Buana dan sebagainya.
Hasan Junus, budayawan Riau, yang kawan dekat BM Syamsuddin, sebagaimana dikutif Kazzaini Ks dalam pengantarnya untuk buku kumpulan cerpen BM Syamsuddin Jiro San tak Elok Menangis (1997) lebih dahulu sudah menjelaskan hal demikian. Bahwa pada mulanya BM Syamsuddin tidaklah dikenal sebagai penulis cerpen. Pada awal-awal kepengarangannya, ia lebih dikenal sebagai penulis roman atau novel. Beberapa cerita bersambungnya yang awal di antaranya diterbitkan di surat kabar Haluan yang terbit di Padang, Sumatera Barat. BM Syamsuddin lahir di Natuna, Kepulauan Riau, 10 Mei 1935 dan wafat di Bukit Tinggi pada Jumat, 21 Februari 1997.
Semasa hidupnya, dalam proses kreatifnya, dengan berbagai karya tulis, mulai dari puisi, cerita pendek, cerita anak-anak, cerita rakyat, novel sehingga tulisan karya ilmiah populer, BM Syamsuddin menekuni pekerjaan-tanggungjawabnya sebagai seorang Redaktur Budaya di Surat Kabar Harian Riau Pos, Pekanbaru. Pekerjaan itu sengaja diberikan oleh Peneraju Riau Pos, H. Rida K Liamsi alias Iskandar Leo ataupun Ismail Kadir. Adalah Rida K Liamsi, yang juga Ketua PWI Riau, yang dikenal luas sebagai Raja Koran di Sumatera ketika itu (1990-an s.d. 2015-an), yang tak lain tak bukan adalah sahabat kentalnya BM Syamsuddin, telah memberikan pekerjaan (jabatan) itu untuk dikelola oleh BM Syamsuddin, sehingga ide-ide, gagasan ataupun pemikiran budayanya dapat disalurkan dengan baik dan berfaedah bagi khalayak ramai. Maka merecuplah karya-karya sastra dan budaya di halaman yang dikelolanya itu dari sejumlah pengarang baik berasal dari Riau maupun daerah lainnya di Indonesia.
BM Syamsuddin di dalam buah karya berupa prosa, baik novel ataupun cerpen—yang tentu termasuk puisi juga ditulisnya dalam tahun1970-an—senyatanya telah membuat “kotaknya sendiri” yang khusus dan khas di bentangan langit sastra Riau dan Indonesia. Sehingga dengan demikian, secara lebih khusus lagi dia adalah “Bianglala” Sastra di Langit Natuna. Bumi dan langit Natuna telah menjadi bagian inti-teras membunga karya-karyanya. Kelasakkan jemari-tangannya memainkan mesin ketik yang sehingga bermunculan karya-karya sastra terbilang dan dibilang di jagad kepengarangan nasional (Indonsia). BM Syamsuddin telah mengokohkan karya-karyanya secara sanggam di dalam rentangan cerpen di tanah Melayu (Riau-Kepulauan Riau) sehingga nama dan karya-karyanya selari dewasa ini tetap diingat, dikenang, dikenal dan aktual dibincangkan. Itu terjadi karena pada karyanya ada kekhasan, ada keunikan, ada “mutiara” ataupun keorisinilannya.
Kenapa karya-karya BM Syamsuddin, khususnya prosa sedemikian membekas, melekat dan tetap menjadi daya tarik tersendiri di kalangan pembaca, akademisi dan pengamat sastra?
Pertama, BM Syamsuddin membentangkan kata-kata, bahasa dalam karya-karyanya memang jelas berbeda dibandingkan dengan pengarang lainnya, termasuk dari Riau-Kepulauan Riau sekalipun. Dalam hal ini, ada kalanya dia memakai kata—yang sebenarnya dalam percakapan sehari-hari sebagaimana bahasa Indonesia, bahasa Melayu atau bahasa Melayu Natuna sekalipun—sudah jarang digunakan. Walaupun demikian, tetap dapat dipandang dan dirasakan oleh siapa pun pembaca, keberadaan kata dimaksud. Misalnya kata “cucur” (Jiro San, Tak Elok Menangis), “Sunau” (Nong Saharah), atau “tercecah-cecah” (Bianglala di Langit Natuna) atau “terkapang-kapang” (Tok Bandar).
Kedua, BM Syamsuddin adakalanya menampilkan kata di dalam karyanya yang sama-sekali tidak ada dalam bahasa Melayu, bahasa Natuna ataupun bahasa Indonesia. Boleh dikatakan kosa-kata tersebut memang dia ciptakan seketika dia menulis sebuah cerita. Sesuai dengan kebutuhan karangannya. Serasa dengan maksud cerita hendak didedahkan. Semuanya itu beliau ujudkan dengan mengandal rasa. Misalnya kata “menderis” untuk menunjukkan angin yang bertiup dari laut (Perempuan Sampan), “bercelamak” adalah kata sebagai menunjukkan sungai yang sudah tercemar, berlimpah, berpenyakit dsb. (Wan Itah) atau “berlopak” yang mengambarkan karang (Nang Nora). Sehingga di kalangan wartawan dan sastrawan di Pekanbaru, Riau BM Syamsuddin dikenal sebagai “Kamus Berjalan”.
Ketiga, gaya (bentuk atau model) bahasa penceritaan, untaian tuturan kisah, narasi dalam suatu cerita yang benar-benar memanfaatkan khazanah lisan-tulisan alam Melayu masa lampau seperti pada hikayat, dan cerita rakyat yang sedemikian berjalin atapun bertalian antara kata satu dengan lainnya. Ini terutama pada alinea pertama setiap cerpennya. “Pawai panjang bagaikan jembatan bergerak, meliuk-liuk sepanjang jalan ke pemakaman. Barisan bekas murid Engku Jauhar mengiringi usungan keranda bunga yang di dalamnya terbaring sosok kaku tidak dapat berkata-kata lagi. Padahal dahulu semasa hidupnya, almarhum terpandang bijak bertutur kata, menjadi penyuluh masyarakat sekampung-kampung” (Jiro San, Tak Elok Menangis). “Siti Hamlah memain-mainkan jarum mengait renda, cekatan sekali jari-jemarinya menikam-mengait, memintal-menyimpul bunga sutera. Ia dengan tekun menghadapi tajuk bunga sutera beraneka warna, dan berbongkol-bongkol di atas meja mar-mar pusaka peninggalan orangtuanya, terletak dekat sekali dengan sebuah jendela besar yang menghadap ke selatan” (Cengkeh pun Berbunga di Natuna).
Keempat, dalam sebuah alinea pada pembuka jalinan cerita, BM Syamsuddin telah menghidangkan bermacam kisah, berbagai kejadian atapun peristiwa, tempat-tempat ataupun lokasi yang sebenarnya antara satu dengan lainnya terkadang-kala tidak berkaitan tetapi menjadi suatu rangkaian yang menyatu dan menarik. Dalam bagian ini, seolah-olah sebuah alinea pembuka ceritanya sudah menjadi suatu cerita yang lengkap dan cukup menegaskan sebagai sebuah cerita telah berakhir. “Kolong-kolong bekas pengorekan bijih timah itu, setiap pagi dan sore terpaksa dilaluinya. Sebab rumahnya terletak berseberangan dengan perigi, tempat mengambil air minum di kaki bukit. Ia terbiasa meniti jembatan kayu sebatang antara sisi-menyisi polong itu, karena telah dilakukannya berulang kali. Sejak usia SD hingga SLTA sebagaimana umurnya sekarang” (Gadis Berpalis).
Kelima, pengarang kita ini mampu dan seolah-olah sesukanya menampilkan sebuah atau beberapa kata, sekedar ucapan singkat sebagai memindahkan (melambang) suatu bunyian, suara atau sejenisnya. Misalnya kata “tuit-yuit…aung…” (bunyi suling tanda kapal akan berangkat), “buuur …. Tek, berrr…rummm…. (angin ribut membadai), “buuur …. trak!” (kapal tenggelam-pecah) (Tok Bandar), “Teplok, teklup, teklok, teklup….” (duyung mengunyah makanannya) (Gelombang Ngidam), yang dapat dijumpai pada nyaris setiap cerita BM Syamsuddin, silakan diperiksa dan dibaca.
Keenam, berlatar suatu kejadian/ peristiwa masa lampau, lama jaraknya dengan kita dewasa ini dan nanti, tetapi dipadukan dengan situasi terkini, sehingga menjadi dekat dan baru rasanya pada pembaca. …..// Merah Soempoer cukup tersohor decade lima puluhan di Riau, sosok paling awal membubuhi tanda tangan pada selembar Surat Keputusan Keluarga Sumatera Tengah. Tamatan Kursus Pengantar Kewajiban Belajar; KP-Kpkb kelolaan Institut Pendidikan Guru Bandung, cetusan ide Bahder Djohan lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Mereka ditugaskan menjadi guru desa sejak September 1955, budak Musa mantan kursistem KP Kpbk A-IV itupun mendadak-sontak dipanggail Cikgu Musa (Bintang-bintang Jasa Cikgu Musa,BA).
Ketujuh, BM Syamsuddin sedemikian pandai, mahir, piawai ataupun jago sekali di dalam menampilkan ataupun menggunakan kata ganti yang indah, metafora yang tepat dan menarik, perumpaan yang padan dan bernas sebagai terhadap suatu ungkapan ataupun perkataan. “Perempuan muda itu datang bersamaan. Pakaiannya serba ringkas. Bertapih kain batik tenunan kedah, terkenal murah. Kebaya melekat di tubuhnya, cita cina tembus pandang. Kutang berenda pelapis kebaya bagian dalam, kelihatan jelas bergambar itik berenang, bersulam benang sutera. Warna merah, hijau, dan kuning amat dominan. Hasil kerajinan sulam-menyulam perempuan Pulau Ngenang”.// Kemudian dapat dilihat misalnya, “Leher jenjang yang tertumpang pada bagian atas dada sedikit bernas, sengaja dililit dengan selendang pelangi biru muda. Terbayang-layang ujungnya ditiup angin. Angin siang di Pelabuhan Kabil Batam Timur, memang jarang reda berhembus. Tajam menderis datangnya dari laut lepas, Laut Cina Selatan” (Perempuan Sampan).
Kedelapan, prosais ini menampilkan kata-kata atau ungkapan sebagai “ibarat” ataupun “seumpama”. Misalnya “kangkang kera” (Kemantan Muda Roh Belian).
Kesembilan, kritik sosial yang tajam, tetapi santun dan sangat menyentuh.
Kesepuluh, menampilkan kata-kata terpilih, terpilah dan gezah (sedap, nikmat, lezat).
Kesebelas, benar-benar kentara kemelayuannya, petah melayu, lokal genius.
BM Syamsuddin, adalah sosok sastrawan yang memberi tauladan di dalam kekaryaan, sehingga karya-karyanya tetap memurai indah dan bersusu sehingga kini dan nanti di alam kepengarangan Melayu dan sastra (prosa) modern Indonesia. Dengan demikian maka patutlah Pemerintah Kabupaten Natuna: 1) menerbitkan kembali karya-karyanya dalam jumlah yang padan sehingga dapat dibaca secara di tengah generasi muda ataupun masyarakat Natuna. 2) Sejalan dengan itu, ada baiknya juga Pemerintah Natuna membentuk Tim Penyusunan buku Sastrawan BM Syamsuddin dalam Sumbangannya terhadap Bahasa-Sastra Indonesia, 90 Tahun Bm Syamsuddin, yang ditambah dengan Penulis Undangan (Penulis Tamu). 3) Tak kalah musatahak adalah mengabadikan namanya secara nyata pada bangunan gedung di lingkungan Pemerintah Kabupaten Natuna, misalnya nama gedung Dinas Perpusatakaan dan Kearsip Natuna: BM Syamsuddin. Sebagamana nama Gedung Dinas Pustaka dan Arsi Riau: Soeman Hs, Dinas Pustaka dan Arsip Kepulauan Riau: Muhammad Yusuf Al-Ahmadi. 4) Mengadakan pelatihan-pelatihan (work Shop) menulis karya sastra di kalangan pelajar dan sisiwa serta secara luas. 5) mengadakan sayembara mengarang karya sastra di jenjang sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas, dan mahasiswa ditambah umum, yang termasuk di dalamnya juga festival seni-sastra (lisan maupun tulisan, sastra rakyat ataupun sastra modern).
Bagi generasi Natuna ataupun siapa saja, hendaknya berupaya untuk mengambil peran menjadi pengarang, baik dalam dunia sastra ataupun bidang lainnya. Mestilah berikhtiar untuk menyambung kepengarangan BM Syamsuddin ini dengan terus memberi corak kebaruan dan keunikan di tengah kepengarangan Melayu dan Indonesia. Dalam kaitan ini, lagi-lagi semoga kelak para pihak banyak yang terpanggil untuk berbuat dalam hal penyemarakkan kepengarangan ini, yakni sebagai penyandang dana guna penulisan dan penerbitan karya yang dilakukan oleh para generasi muda atau sispa pun menjadi penulis di Daerah Kabupaten Natuna. Mewariskan lietasi (kalam) dan mewarisinya adalah hal terpenting dalam kesehatan akal pikiran manusia. Tulis menulis, sesungguhnya mencerdaskan bangsa, memajukan daerah dan bernilai ibadah di hadapan Tuhan, Allah SWT. Mohon maaf, sekian dan terimakasih.
Discussion about this post